Dampak perubahan iklim telah membawa dampak yang siginifikant terhadap ketersediaan bahan pangan nasional. Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo berpesan bahwa ketersediaan pangan tidak boleh bersoal dalam memenuhi kebutuhan 278 juta jiwa penduduk Indonesia. Oleh karena jajaran Kementan harus melakukan terebosan dan langkah cepat dalam mengantasipasi elnino dan musim kemarau yang puncaknya pada bulan Agustus-September. 


Menindaklanjuti arahan Bapak Mentan, Direktorat Jenderal Hortikultura mengambil langkah cepat dengan menugaskan seluruh jajarannya untuk turun ke lapangan. Tim kami turunkan untuk memastikan bahwa langkah adaptasi dan mitigasi segera dilakukan khususnya antisipasi Elnino dan menghadapi musim kemarau di wilayah kampung hortikultura, ungkapnya. 


Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, menjelaskan bahwa ada tiga strategi kebijakan pembangunan hortikultura terkait perubahan iklim, yaitu antisipasi, mitigasi, dan adaptasi. Langkah konkret Ditjen Hortikultura cq. Dit perlindungan hortikultura yang dilakukan di lapangan adalah menyusun EWS perlindungan hortikultura dengan melakukan pengumpulan data dan informasi iklim dari UPTD BPTPH se-Indonesia dan berkoordinasi dengan BMKG setempat tentang prakiraan iklim hingga 6 bulan ke depan dan antisipasi ketersediaan air hujan, pangkasnya. 


Sementara itu Direktur Perlindungan Hortikultura, Jekvy Hendra, menyampaikan bahwa Direktorat Perlindungan Hortikultura melakukan langkah terobosan dengan memastikan Sistem Peringatan Dini Perlindungan dan Pengelolaan Jadwal Tanam (EWS SIPANTARA) bisa segera disosialisasikan. Kami menugaskan tim sebelum launching dan sosialisasi untuk segera menvalidasi data EWS khususnya pada daerah penyangga aneka cabai dan bawang merah nasional. Lokasi yang akan divalidasi tim ada 3 provinsi yaitu Jatim, Jabar, Jateng di 6 kabupaten yaitu Kediri, Malang, Bandung, Garut, Temanggung dan Magelang. Hal ini dilakukan sebagai langkah konkret penanganan dampak perubahan iklim berupa langkah adaptasi dan mitigasi pada lokasi kampung hortikultura, pangkasnya. 


Berdasarkan pantauan BMKG Jawa Timur, hingga pertengahan Juli 2023, gangguan iklim global El Nino sudah mulai terasa dampaknya di Jawa Timur. Secara umum El Nino akan mengakibatkan iklim kering di Indonesia khususnya Jawa Timur, terutama pada periode Juli hingga Oktober. Dilaporkan juga bahwa hingga pertengahan Juli ini, Hari Tidak Hujan (HTH) disebagian besar wilayah di Jawa Timur sudah mulai terjadi HTH ekstrim panjang, artinya lebih dari 60 hari sudah tidak ada hujan, meliputi Kabupaten/Kota : Bangkalan,Banyuwangi, Bojonegoro, Bondowoso, Jombang, Madiun, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Sidoarjo, Situbondo dan Surabaya.

Hanya sedikit saja wilayah di provinsi Jawa Timur, yang masih mendapat hujan kriteria rendah hingga sangat rendah, artinya hujan yang turun hanya sekitar 0 – 10 mm. Prediksi curah hujan untuk beberapa dasarian dan beberapa bulan kedepan di Jawa Timur, peluang curah hujan sangat rendah, bahkan Agustus – September diprediksi merupakan periode puncak musim kemarau di Jawa Timur. 


Bagus Ananto, champion cabai Kabupaten Kediri saat mendampingi tim EWS SIPANTARA di Desa Kambingan Kecamatan Pagu menjelaskan bahwa kondisi pertanaman di wilayah ini rata rata pada

Umur tanaman 60 HST, dengan menggunakan 

Varietas lokal pagu. Pada saat panen rata rata produktivitas tanaman mencapai 6-8 ton/ha. Dengan adanya kondisi perubahan iklim dan sudah masuk musim kemarau, 

pertumbuhan tanaman tidak normal yang terlihat dari daun tanaman yang keriput dan menggulung, ungkapnya. 


Hal senada disampaikan oleh Suyono yang juga merupakan Asosiasi Cabai Jatim mengatakan bahwa permasalahan saat ini yang dihadapi di lapangan adalah kekurangan air di berbagai wilayah kampung cabai, pembagian air yang ditarik melalui sungai dengan pompa juga tidak merata, adanya virus gemini dominan di lapangan karena petani masih menggunakan benih open polinited (op). Dengan kondisi curah hujan saat ini yang sudah sangat jarang, ini menandakan musim kemarau dan elnino sudah masuk. Kami berharap pemerintah dapat membantu kelompok tani dengan sumur dalam maupun sumur dangkal untuk mengantisipasi hal ini pangkasnya. 


Ketua kelompok tani subur, Moh. Chaerul Desa Kambingan saat ditemui di lapangan menjelaskan bahwa 

Umur tanaman cabai nya 60 hari setelah tanam (HST), tumpang sari bawang sayur dengan umur 45 HST dengan menggunakan mulsa perak. Saat ini musim kering sudah masuk, dan puncaknya biasanya Agustus sampai September. Pada saat musim kering seperti ini kami melakukan penyiraman hanya sekali seminggu. Biasanya kalau normal, penyiraman bisa kami lakukan 3 kali seminggu: Sumber air dari sungai jaraknya bisa mencapai 1 km dari lahan kami sehingga tanaman masih terairi meskipun harus berbagi dengan kelompok tani lainya. Disaat kondisi seperti ini OPT dominan di lahan kami adalah ulat daun dan thrips, ungkapnya.


Kordinator dampak perubahan iklim, Agung Sunusi saat ditemui di lapangan menyampaikan bahwa saat ini kami melakukan validasi Early Warning System Pengelolaan Jadwal Tanam komoditas strategis Hortikultura (EWS SIPANTARA) di Kabupaten Kediri. Pemilihan lokasi ini karena Kab. Kediri merupakan salah satu kabupaten penyangga aneka cabai nasional. Kegiatan ini kami lakukan untuk memastikan bahwa data yang sudah terbangun pada sistem ini, tervalidasi dan sesuai dengan kondisi lapangan, ungkapnya.  


Dosen Teknik Informatika, Sekolah Vokasi UNS, Darmawan Lahru Riatma menambahkan bahwa validasi ini kami fokuskan pada peringatan dini terkait peta prediksi kekeringan, penentuan jadwal tanam spesifik lokasi dan peta penyebaran opt dominan di lapangan. Dari hasil pantauan kami di lapangan bersama tim EWS SIPANTARA tervalidasi bahwa sistem yang sudah terbangun mengindikasikan bahwa wilayah Kabupaten Kediri secara umum telah masuk ke musim kemarau, kekeringan di sebagian lahan juga sudah mulai terlihat, sehingga perlu langkah antisipasi, mitigasi dan aksi nyata menghadapi dampak Elnino tahun ini, ungkapnya.